Pola Asuh Turun Temurun: Mau Dilanjutkan atau Diputus?

Emosi_dan_Psikologi | 16 Jun 2025 | Athree | Dilihat 13x

Gambar Artikel

RumahPulih.com - Memutus rantai bukan berarti durhaka. Tapi bentuk cinta agar luka tak berpindah.


Saat menjadi orang tua, tanpa sadar kita sering mengulang apa yang kita lihat dan alami semasa kecil. Cara bicara, menegur, memberi hadiah, bahkan cara menunjukkan cinta semuanya terbentuk dari pengalaman masa lalu.


Kita pun mulai bertanya:


“Kenapa aku marah seperti ibuku dulu?” “Kenapa aku jadi tega membentak, padahal aku dulu paling takut dibentak?”


Jawabannya: karena pola pengasuhan itu diwariskan. Dan jika tidak kita sadari, ia akan terus berpindah ke generasi berikutnya.


Pola Asuh Itu Bisa Diwariskan


Menurut psikolog Daniel J. Siegel, otak anak berkembang berdasarkan pengalaman relasi, terutama dengan pengasuh utama. Ketika orang tua dulu bersikap keras, cuek, atau terlalu menuntut, otak kita mencatat itu sebagai “cara normal”.


Tanpa refleksi, kita cenderung meniru bahkan jika dulu kita sangat tersakiti oleh pola itu.


Contoh:

Dulu kita takut dimarahi saat menangis, tapi kini kita berkata, “Jangan cengeng.”


Dulu hanya diperhatikan saat berprestasi, tapi kini kita memuji anak hanya saat nilainya bagus.


Dulu tak pernah ditanya “kamu kenapa?”, tapi kini kita juga lupa mendengar perasaan anak.



Inilah yang disebut pola pengasuhan turun-temurun. Tak semua harus diputus, tapi perlu disaring:

- Mana yang melukai?

- Mana yang membawa kebaikan?


Dalam Islam, orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik anak dengan ihsan (kasih sayang dan kebijaksanaan).

Islam tidak mewajibkan kita meniru masa lalu, tapi mendorong kita untuk terus memperbaiki diri dan keturunan.


Jika generasi sebelumnya belum mengenal pendekatan penuh empati, kita bisa menjadi generasi yang memulai.


Memutus pola yang melukai bukan durhaka,

justru bisa menjadi bentuk birrul walidain kebaikan kepada orang tua

karena kita tidak menyalahkan mereka, tapi memilih tidak meneruskan luka.

Iklan Tengah


Dengan memperbaiki cara kita mendidik anak, kita sedang mendoakan orang tua kita lewat amal jariyah yaitu generasi yang lebih baik, lebih lembut, dan lebih berakhlak.


Yang Bisa Kita Lakukan adalah :


1. Sadari Pola Lama

Apa yang sering kamu lakukan saat stres atau kesal pada anak? Dari mana itu berasal?



2. Evaluasi: Lanjut atau Putus?

Apakah pola itu membawa anak lebih dekat pada cinta dan kasih, atau justru membuatnya takut?



3. Belajar menyesuaikan keadaan saat ini

Tak perlu sempurna. Belajar cara baru, ikut komunitas, dengarkan nasihat bijak, dan terus memperbaiki diri.



4. Berani Mengubah Arah

Ganti bentakan dengan pelukan. Ganti kontrol dengan komunikasi. Ganti tuntutan dengan pemahaman.



5. Berdoa dan Pulih Bersama

Minta petunjuk kepada Allah agar kita menjadi orang tua yang mendidik dengan cinta, bukan luka.


Kamu Adalah Titik Balik


Kamu mungkin bukan orang tua yang sempurna, tapi kamu bisa jadi orang tua yang sadar dan bertumbuh.


Kamu bisa jadi titik balik. Orang yang dengan cinta berkata:


“Cukup sampai di aku. Anakku berhak tumbuh tanpa luka yang sama.”


Inilah makna memutus pola dalam Islam:

Bukan menyalahkan masa lalu, tapi berikhtiar agar masa depan lebih baik sebagai bentuk amanah dan kasih yang sesungguhnya.


#rumahpulih #polaasuhpositif #kesehatanmental #parenting

Iklan / Sponsor
Iklan
Iklan 2
Iklan Mengambang